Tanggal 9 Februari ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional di Indonesia yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985, guna memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional. Pers yang merupakan badan yang menerbitkan media massa, tak lepas peranan dari seorang jurnalis atas muatan berita dan informasi yang ada di dalammnya.
Memperingati Hari Pers Nasional tersebut, VISVAL berkesempatan memiliki sesi sore untuk bertukar pikiran seputaran bidang seni musik dan budaya dengan salah satu jurnalis yang juga seorang dosen asal kota Bandung, Idhar Resmadi. Bicara mengenai pers, berikut hasil pemikirannya saat berbincang mengenai Hari Pers Nasional.
1. Apa makna pers menurut anda?
Mungkin kita tidak sadar, tapi menurut saya, pers telah menjadi salah satu hal yang esensial dalam kehidupan kita. Pers atau media massa lah yang hampir mengonstruksi semua realitas yang hadir di sekitar kita.
2. Apakah setuju jika pers itu salah satu agen pembentuk pola pikir masyarakat? Apa alasannya?
Kalau saat ini saya pikir pembentuk pola pikir bisa datang dari mana saja dan siapa pun. Tapi pers punya peran yang sangat relevan karena memiliki akses terhadap informasi.
Meski kini informasi di era internet menjadi sangat mudah didapatkan. Keberadaan pers atau media massa dapat menggiring opini dan membentuk pola pikir masyarakat. Dalam hal ini media tetap menjadi jembatan antara masyarakat dan informasi.
3. Di era digital ini banyak platform digital yang juga turut menjadi wadah untuk berbagi informasi, apakah memberikan pengaruh signifikan terhadap peranan pers?
Iya tak bisa dipungkiri lagi jika media digital telah berpengaruh terhadap proses komunikasi masyarakat dewasa ini. Akhirnya bagaimana cara media menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, seperti tetap update dengan konvergensi media di dunia digital. Namun, paling menarik di era digital justru hadirnya demokratisasi informasi di mana informasi sekarang sudah bukan lagi semata “kuasa” media, tapi masyarakat sipil juga dapat memberikan informasi, opini, atau tanggapan terhadap suatu fenomena. Digital telah memberikan ruang yang sangat luas dalam menghadirkan informasi ke tengah masyarakat.
4. Dengan berbagai kemudahan akses di era digital ini, muncul istilah citizenjurnalism di mana masyarakat dapat menjadi kontributor sebuah berita. Apa tanggapannya?
Iya itu merupakan dampak dari akses media yang kian mudah di era internet sekarang ini. Tapi menurut saya media massa atau pers yang professional tetap masih memiliki hal yang istimewa karena ada koridor konfirmasi dan etika jurnalistik yang membuat informasi itu setidaknya bisa lebih layak diterima dibandingkan dengan pemberitaan yang datang dari masyarakat yang boleh jadi mengabaikan etika dan prinsip jurnalisme. Sehingga persoalan terbesar dalam wajah media kita saat ini yaitu tentang hoax dan media penyebar fitnah yang mulai bermunculan.
5. Bicara mengenai netralitas pers dalam menyajikan informasi, sebagian besar media massa di Indonesia dimiliki oleh elit parpol, apakah masih bisa diandalkan untuk menjadi sumber informasi yang layak dikonsumsi masyarakat?
Inilah realitas yang terjadi di kita, bahwa media massa itu tak pernah netral dan objektif. Dalam suatu pemberitaan selalu saja ada bias kepentingan politik, ekonomi, atau ideology. Tingkat melek media atau media literasi di masyarakat perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat kritis terhadap setiap pemberitaan yang ada di media. Hal yang perlu didorong juga hadirnya media-media alternatif atau media komunitas yang dapat memberikan opini tandingan atau kontra wacana sehingga dapat mengimbangi pemberitaan-pemberitaan dari media yang penuh bias.
6. Menurut anda bagaimana proporsi kebebasan pers saat ini di Indonesia?
Dari data terakhir, memang masih mengkhawatirkan dimana masih terdapat kekerasan terhadap wartawan, perlindungan wartawan yang masih lemah, masih maraknya media-media hoax dan penyebar fitnah, hingga media yang cenderung pada parpol atau ideologi tertentu. Saat ini wajah pers Indonesia masih penuh dengan pemberitaan yang bias, karena konglomerasi media masih menjadi penyakit akut dalam dunia pers kita yang masih sulit disembuhkan.
7. Ada tips untuk memilah informasi yang baik untuk dikonsumsi?
Coba untuk lebih kritis ketika menerima informasi. Jangan mudah percaya ketika menerima suatu informasi. Coba untuk cari berita-berita yang sama dan membandingkannya. Coba untuk melakukan konsep Tabayyun atau konfirmasi ketika mendapat suatu berita. Dan jangan mudah jempol ini untuk klik share saat kita belum Tabayyun terhadap berita tersebut.
8. Apa harapan anda untuk peranan pers di Indonesia?
Seperti judul lagu Koil, “Semoga Kau Sembuh”.
Profil singkat Idhar Resmadi
Pria kelahiran Bandung 19 Juli 1985 ini, dikenal luas lewat karya tulisannya dalam sejumlah media cetak nasional seperti diantaranya Ripple Magazine (2004-2009), Pikiran Rakyat (2009-2010), dan juga Rolling Stone Indonesia (2005-2017). Jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan D3 Broadcasting Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (2003-2007), Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (2007-2011), dan Magister Studi Pembangunan ITB (2013), juga berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Bandung. Idhar juga merilis karya tulisannya lewat buku antara lain Music Records Indie Label (2008), Kumpulan Tulisan Pilihan Jakartabeat.net 2009-2010 (2011), dan Based on A True Story Pure Saturday (2013).
Sebagai jurnalis, pemilik akun instagram @idharrez sempat memanajeri sebuah Media di organisasi non-pemerintah Common Room Networks Foundation sejak tahun 2010. Di sejumlah karyanya yang diterbitkan, bidang musik dan budaya menjadi objek yang sering ditulisannya. Kecintaannya terhadap kedua bidang tersebut, ia pun banyak terlihat hadir di berbagai forum kegitan sebagai pembicara, moderator, sekalipun menjadi pemateri.
Untuk mengenal dan menyelami lebih dalam seorang Idhar Resmadi beserta karya-karya tulisannya, kalian bisa singgah pada laman web https://idhar-resmadi.net/ yang hingga kini aktif ia kelola sendiri.